Pernahkah anda mendatangi sebuah kos yang ramai musiknya? Anak di kamar sebelah membuka lagu rock, di sebelahnya memutar lagu dangdut, sebelahnya lagi memutar Iwan Pals, sebelahnya memutar lagu dari daerahnya yang kadang hambar di telinga; dan semuanya sama memutar dengan volume full abis.
Sehingga anda merasa seolah sedang berada di pasar loak yang menjual alat elektronik dan VCD bajakan. Benar-benar ramai.
Keramaian bunyi yang berebutan masuk ke telinga tersebut sangat bagus, sekaligus menyiksa. Bagus, karena kita disuguhkan beberapa aliran musik gratis dalam satu waktu yang bersamaan. Menyiksa, karena telinga kita hanya dua, dengan gendang yang pas-pasan sementara suara-suara berebutan masuk dengan bass yang sangat kencang. Demi Usi’ Koko yang menumbuhkan padi di sawah, mengapa orang setega itu menyiksa kita?
Ada beberapa penyebab. Yang pertama tingginya agresivitas orang yang memutar musik. Ada banyak faktor yang menyebabkan perilaku agresif namun dalam topik ini saya lebih tertarik pada faktor yang disajikan Taylor Taylor, dkk (2000): adanya serangan (attack) serta frustasi. Serangan merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresif. Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau tindakan tertentu.
Dalam hal ini, bentuk serangan yang dilancarkan adalah serangan suara yang berlebihan kepada telinga orang-orang di sekitarnya. Seorang anak kos mulai membuka musik country dengan volume tinggi, menyerang telinga tetangga kosnya. Tetangga kos tersebut yang menyerang balik dengan membuka lagu Iwan Fals, sama kencang. Tetangga lain lagi membuka lagu lain lagi dengan lebih keras lagi. Maka bila anda sedang frustasi, entah putus cinta atau apapun itu, usahakan membuat pelarian yang lebih pantas dan tidak agresif.
Yang kedua, terdapat ciri narsisme pada jenis orang ini. Mereka merasa telah mempunyai selera musik yang paling bagus, atau lagu baru yang paling bagus, atau perangkat sound system yang paling bagus sehingga perlu dipamerkan kepada tetangga kosnya. Dan dalam tingkatan narsisme mereka ini paling parah, karena mereka memamerkan hal yang sama berulangkali dalam jangka waktu yang panjang, sebulan, setahun, dua tahun, dan seterusnya. Jika Narsisius masih hidup bisa jadi ia kalah narsis.
Yang ketiga mental koruptif yang ada di kepala pemutar musik. Hal terakhir ini erat kaitannya dengan film dokumenter Di Balik Frekuensi. Gelombang yang menghantarkan suara adalah milik publik, milik semua orang. Namun si pemutar lagu ini dengan egonya berusaha untuk merebut tiap Hz dari gelombang tersebut untuk menjadi miliknya pribadi. Astaga, egois sekali! Orang-orang ini karena mempunyai modal (musik dan perangkat sound system), seenaknya menggunakan fasilitas (gelombang) yang seharusnya merupakan milik bersama, digunakan untuk kepentingan egonya. Ini manusia-manusia kapitalis yang koruptif.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait penyebab mereka melakukan hal ini, namun sampai saat ini asumsi saya adalah kurangnya perhatian, yang meningkatkan naluri agresif-narsistik. Mereka menyerang biar mendapat perhatian. Juga berusaha meng-korupsi gelombang bunyi: biar musik mereka yang paling didengarkan, diperhatikan. Sigmund Freud himself akan menunjuk wajah orang ini dan menggolongkannya dalam orang-orang yang mengalami proses fiksasi. Kemungkinan konsep diri mereka sangat buruk. Atau mereka dididik tanpa toilet training yang baik, atau dengan fase oral berantakan. Atau, entahlah. Apakah mereka diberi ASI?